Kisah
ini bermula ketika gue mau balik ke kota dimana gue kuliah, Banda Aceh. Sebuah
kota dengan permandangan pantai menakjubkan, setidaknya bagi gue yang gak
pernah pergi-pergi jauh ini. Sialnya, gue balik mendadak dan gak sempat pesan
tiket bis, berharap bakalan masih ada bis yang mau menampung seorang anak kos
ini. Sampai di terminal bis gue langsung ke loket salah satu bis, syukur masih
ada satu tiket terakhir, meski posisi duduk ini bukan favorit gue, tapi gue
harus terima dengan lapang dada. (#NP Sheila On 7 – Lapang Dada). Gue duduk
sambil nunggu waktu keberangkatan. Duduk di sudut terminal, karena gue gak
begitu suka berada di tengah-tengah orang ramai. (Ya iyalah, duduk mah di
kursi, bukan di tengah orang duduk). Tiba-tiba... Mata gue terarahkan secara
otomatis seperti roket rudal rusia yang membidik target, siap meluncur. Tapi
apalah daya, keberanian gue untuk ajak kenalan cewek di tempat umum gak seperti
artis-artis FTV. Dan, gue hanya menyimpan kekaguman ini sampai di mata saja.
Jam
keberengkatan pun tiba. Setelah berpamitan dengan teman gue, gue langsung naik
ke bis lalu mencari-cari nomor kursi yang tertera di tiket. Dapat, nomor 18.
Gue duduk di samping bapak-bapak paruh baya, kira-kira umurnya sudah masuk
kepala empat lah. Setelah ambil sebotol air mineral dan earphone dari tas gue
lalu meletakkan tas di rak atas yang selalu ada di setiap bis, gue langsung
duduk di sebelah bapak tadi. Oke, tips pertama bagi lo pada yang mau naik bis,
kalau lo mau letakkan tas di atas rak atau jauh dari jangkauan tangan, agar
tidak repot nantinya selama perjalanan, lo sebaiknya keluarkan dulu yang
kira-kira akan lo butuhin dalam perjalanan. Bagi gue, gue hanya perlu air dan
earphone atau sejenisnya yang bisa buat lo dengar lagu di handphone tanpa
mepulu bangunin orang satu bis.
“Maaf
Bang, Abang duduk di kursi nomor berapa ya? Saya duduk disini, nomor 22”,
tiba-tiba ada seorang pria yang umurnya kira-kira dibawah gue dua tahun.
“Hah?
Apa apa?”, gue lupa cabut earphone.
“ABANG
DUDUK DIMANA? SAYA DUDUK DISINI NOMOR 22”, sahut orang tadi sambil sedikit
teriak yang diikuti tatapan kaget dari orang satu bis. Oke, ini tidak sedikit.
“Oh,
saya duduk di bangku nomor 18, salah ya? Maaf... Eh tapi biasa aja donk
bicaranya gak pake jerit-jerit”, jawab gue dengan muka paling polos.
“Lagian
abang diajakin ngomong gak nyambung’, jawab orang tadi diikutin dengan duduk
dikursi itu setelah gue bangun.
Ya
memang gue salah nomor kursi, ya namanya juga manusia, kadang-kadang suka lupa.
(Ini sih bukan lupa, tapi rabun). Lalu gue duduk di kursi nomor 18 yaitu tepat
di depan kursi yang gue duduki tadi. Dan, betapa kagetnya gue ternyata gue
duduk di sebelah cewek yang tadi gue lihatin di terminal. Dalam hati sih gue
sudah girang banget, bukan, bukan vokalis Nidji, itu Giring. Bukan yang untuk
belah kelapa juga, itu parang, oh jauh ya, oke lah. Dalam hati sih girang bukan
main, tapi sebagai cowok gue harus cool dan biasa aja. Lalu dengan biasa aja
gue duduk di kursi itu sambil beri senyum kecil. Cowok harus gitu, harus penuh
misteri, jangan terlalu ekspresif, supaya cewek penasaran gitu. (benerin kerah
baju). Kali ini gue gak boleh lepasin kesempatan ini, gue harus tahu nama dia,
kuliah dimana, tinggal dimana, nama orang tua dia, IPK dia, gimana dia di
kampus, pengalaman, dan tujuan dia naik bis ini. (Lah ini apa).
Gue
coba pancing dia, (ikan kali...), pancing dengan senyuman. Dan ternyata dia
muntah. Ya enggaklah, dia senyum balik. Maka itu, gue harus mulai ngobrol.
“Hai,
mau kemana?”, gue mulai.
“Ke
Banda Aceh bang, kalo ke Medan bukan ini arahnya”, dia jawab, entah niatnya
ngelucu, tapi gue ketawa dikit aja.
“
Abang mau ke mana?”, dia tanya balik rupanya.
“Oh
sama, ke Banda Aceh juga ini. Oh ya, boleh tahu namanya?”.
“Panggil
aja Miky, bang. Kalo abang?”, jawabnya, namanya cantik sih, tapi bisa aja nama
panjangnya Mikeyem mungkin, atau Mikiyati.
“Abang....
Kok mulutnya goyang-goyang, abang certain saya ya?”, dia semacam tau gue
ngomong dalam hati.
“Eh
gak gak, haus aja mungkin. Oh ya, panggil aja aku Arif”, gue jawab sambil
minum, ini formalitas aja biar nampak gue beneran haus.
Setelah
itu banyak hal yang kami obrolin, dari soal kampus. Ternyata kami kuliahnya di
fakultas yang sama. Hanya saja beda jurusan, dia jurusan seni. Dan dia juga adik
angkatan gue. Kenapa dulu waktu masa orientasi mahasiswa baru gue gak ketemu
dia ya. Atau mungkin karena waktu masa orientasi mahasiswa baru kan semuanya
kucel seharian dijemur di terik matahari.
Gak
terasa perjalanan sudah dua jam atau tepat pukul 12 tengah malam. Sudah banyak
penumpang lain yang tidur dan kami pun sudah mulai lelah akhirnya kami
memutuskan untuk tidur atau sekedar memejamkan mata agar perjalanan jadi gak
terasa cepat sampai. Secara kami harus menenmpuh perjalanan lebih kurang 8 jam.
Dan obrolan kami pun berakhir, itu cukup sih buat gue tahu dia adalah tipe
orang yang lucu, unik, ceria, dan suka bercanda. Oh ya, dia manis dan cantik
juga. Nyaris sempurna.
Ternyata
tanpa sadar gue tertidur dan tanpa sadar gue juga, ternyata bis sudah sampai di
terminal kota Banda Aceh. Gue dibangunkan oleh lampu bis yang menyala terang.
Waktu saat itu menunjukkan kira-kira pukul 5 lebih 30 menit. Gue sedikit
membuka mata dan terasa ada kepala yang bersandar di bahu gue, kepala siapa
lagi, kan gak mungkin kepala supir bis nya. Tapi gue pura-pura aja belum bangun
supaya dia gak kaget dan malu. Gak lama dia juga terbangun dengan sedikit kaget
karena kepalanya udah berlabuh di bahu gue, (halah). Tapi karena dia lihat gue
yang (pura-pura) masih tidur, dia cuma kaget aja, gak pake malu. Gak lama dari
itu, gue (pura-pura) baru bangun.
“Wah
sudah sampai ya, gak terasa”, gue bilang ke dia.
“Iya
nih, lelap banget tidurnya”, dia jawab.
“Kamu
naik apa ke kost?”, gue tanya ke dia lagi.
:Oh
ada temen, bentar lagi di jemput”.
“Ya
sama donk. Oh ya, boleh tukaran pin BBM, mungkin lain waktu kita bisa ketemu
lagi”.
“Boleh,
ini di-barcode aja”.
Sekitar
setengah jam kami sama-sama menunggu teman kami jemput, Miky dijemput lebih
awal baru setelah 5 menit kemudian gue yang dijemput. Tapi setelah itu kami
mulai intense komunikasi dan dekat. Sampai akhirnya kami memutuskan untuk
ngedate pertama. Kami pergi ke sebuah warung kopi yang cukup bersahabat untuk
cewek dengan tempat yang gak “uwak-uwak” kalau kata orang Medan. Miky memesan teh
tarik yang belakangan gue tahu itu minuman favoritnya, gue seperti biasa
memesan kopi hitam untuk menguatkan kesan macho sebagai cowok, kalo gue minum
susu putih di depan cewek kan jatuhnya cemen. Ya walaupun setelah itu gue masuk
angin karena kopi, ya itu urusan nanti lah. Anyway, ngedate pertama berjalan
lancar.
Dua
minggu setelah ngedate pertama, kami memutuskan untuk ngedate kedua. Kali ini
kami pergi untuk mencari buku, Miky bilang pingin baca buku, bukunya sudah
habis dibaca semua. Ya walaupun gue gak begitu akrab sama toko buku, paling ke
toko buku untuk beli alat tulis, paling banter beli poster presiden dan wakil
presiden. Tapi demi Miky sih toko pakaian dalam wanita pun gue pergi. (Lah itu
enak donk). Miky memilah-milah buku, gue juga. Miky beli salah satu novel Tere
Liye yang terkenal mellow dan cocok untuk cewek. Gue juga gak mau kalah, gue
beli buku “Politik dan Hidup Bernegara Menurut BJ. Habibie” yang belakangan gak
terbaca sedikit pun. Anyway, ngedate edisi kedua juga berjalan lancar.
Hubungan
kami semakin intense, sudah satu setengah bulan sejak kami ketemu pertama kali.
Kali ini gue pengen ajak dia ngedate lagi dan nembak dia. Kali ini kami pergi
ke pantai yang memang terkenal keindahannya. Disana kami tidak main air, kami
hanya ingin menikmati permandangan yang disuguhkan oleh alam. Sampai saatnya
matahari mulai akan terbenam.
“Mik,
aku mau bicara deh”, gue bilang ke dia,
“Iya,
biasa juga bicara kan, gak pernah gak boleh”
“Iya
sih, tapi ini beda”.
“Ya
udah, mau bilang apa?”
“Kita
kan udah lama dekat, kita juga udah sama-sama tahu”. Ada hening sejenak...
“Ya
terus apa?”. Dia tanya lagi.
“Kamu
mau gak jadi pacar aku?”, (diciyeein kepiting)
“Oh
bilang itu, kayaknya aku gak punya alasan deh buat nolak kamu”. (Diciyeein
pedagang kelapa muda). Diikutin senyum kecil dia mengiyakan pertanyaan gue.
Akhirnya kami jadian dan sunset hari itu menjadi saksi.
Hari
demi hari, minggu ke minggu, bulan berganti, gue lewatin dengan status gak
jomblo lagi. Senang? Ya iyalah... Hari-hari terasa baru, semuanya ceria. Full
of happiness deh pokoknya.
Tiga
bulan pertama semuanya masih intense. Masuk bulan ke-4 sudah mulai biasa, mulai
ada ribut-ribut kecil tapi langsung diselesaikan, terus sayang-sayangan lagi.
Ya maklum lah. Masuk bulan ke-8 mulai sering ada marahan besar, ngambekan, gak
kontak-kontakan beberapa hari. Tapi karena rindu, salah satu ada yang ngalah.
Masuk bulan ke-10 ribut sudah mulai lebih sering. Mungkin dia sudah mulai
bosan, tapi gue simpan rapat-rapat pikiran itu agar tidak semakin sulit
situasinya.
Sampai
akhirnya masuk setahun kami berhubungan, ada saat dimana kami gak komunikasi
selama dua minggu. Akhirnya mau gak mau gue harus nanya ke dia dan bicarain
ini. Gue telepon dia dan ajak ketemu, meski dengan nada malas dia mengiyakan
ajakan gue.
“Kamu
kenapa? Ini udah parah banget lho”. Gue tanya ke dia.
“Gak
kenapa-kenapa, lagi malas aja”.
“Lagi
malas gak sampe dua minggu juga kali”.
“Terus
kamu mau apa?”
“Aku
cuma tanya kan.”
“Iya
tapi kamu menghakimi aku”
“Aku
gak gitu, kalo gini terus untuk apa kita pacaran”.
“Tuh
kamu tau, aku bosan, aku pingin putus, tapi kita putus baik-baik, jangan
musuh-musuhan”.
“Kalo
baik-baik kita gak putus namanya”.
“Ya
kita putus, tapi baik-baik, aduh gimana sih bilangnya”.
“Oke
oke, kalo kamu maunya gitu, baiklah kita putus dengan BAIK-BAIK”.
“Bilang
baik-baiknya biasa aja donk...”
“Iya
baik-baik...” (nelan garpu).
Mulai
hari itu kami putus, sendok dan garpu yang jadi saksi. Tapi semuanya gak
selesai gitu aja. Gue terus mikir kenapa dia bisa bosan, kenapa semuanya gak
bisa sama terus dengan hari-hari pertama kami jadian. Kenapa harus ada yang
berubah. Pertanyaan-pertanyaan ini terus mengisi pikiran gue.
Sebulan
kemudian, gue liat di akun facebook-nya Miky sudah mulai pacaran lagi. Dengan
orang yang selama ini gue pikir mereka temanan biasa. Gue pergi ke warung kopi
dimana kami ngedate pertama kali dan duduk di kursi yang sama. Gue pesan kopi
hitam lagi. Gue seruput kopi itu, meski pahit, tapi gak sepahit waktu pertama
kali gue minum kopi. Gue sudah mulai terbiasa dengan rasa pahit kopi. Mungkin
hidup seperti itu, kita harus merasakan beberapa kali patah hati untuk mulai
terbiasa dan menikmati rasa pahitnya. Juga, tentang kopi ini, awal dikasih
dengan terasa panas kopi ini terasa lebih nikmat dibanding ketika sudah lama
dan dingin. Namun bagi pencinta kopi, meski sudah dingin, kopi ini masih terasa
nikmat, kuncinya bagaimana kita mencintai kopi itu sendiri. Dalam hubungan,
awalnya hangat memang terasa indah, namun ketika sudah lama bukan berarti tidak
indah lagi. Kuncinya ada di tangan kita yang merasakan cinta itu sendiri,
benar-banar mencintai dia atau tidak, dia sang pilihan hati kita.